Ibadah Etnik Warnai Liturgi GKI Ekklesia Pemda Doyo Baru: Konteks Nuansa Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo, Penuhi Ruang Ibadah

Doyo Baru, 30 Juni 2025, – Nuansa khas Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo mewarnai suasana ibadah minggu di Jemaat GKI “Ekklesia” Pemda Doyo Baru, Kabupaten Jayapura, pada Minggu (29/6/2025). Ibadah ini merupakan bagian dari agenda ibadah etnik kontekstual yang direkomendasikan oleh Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua sebagai bentuk penghargaan atas keberagaman budaya jemaat dalam tubuh Kristus.
Bertemakan “Pemberian yang Mencukupkan Pelayanan Penginjilan” (Filipi 4:10–20) dengan subtema “Melalui Ibadah Kontekstual, Etnik Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo Menopang Pelayanan, Pembangunan Sebagai Bagian dari Tubuh Kristus”, ibadah ini berlangsung penuh semangat dalam semangat kekeluargaan dan persatuan.
Dalam pelaksanaannya, tampak jelas integrasi budaya daerah ke dalam liturgi GKI yang baku. Pendeta dan petugas liturgi mengenakan busana adat khas Sulawesi, lengkap dengan topi “Upu Dada” dan aksen kain tenun berwarna merah, kuning, dan hitam. Elemen dekoratif pun memadukan bunga segar dengan latar altar berwarna hijau liturgis, menandakan kesinambungan antara tradisi gerejawi dan ekspresi budaya.
Prosesi ibadah dimulai dengan penyambutan jemaat dalam dialek lokal, diiringi alunan musik keyboard yang menyatu dengan lagu-lagu pujian khas daerah. Salah satu momen paling menyentuh adalah ketika pembacaan Firman dilakukan secara bergantian dalam bahasa Indonesia dan dialek etnik, memberikan nuansa emosional yang kuat bagi jemaat asal Sulawesi yang hadir.
Pendeta jemaat menyampaikan kotbah dengan gaya kontekstual, mengaitkan isi Kitab Filipi dengan semangat gotong royong dan ketekunan orang Sulawesi dalam menopang pelayanan misi gereja. Di akhir ibadah, doa pengutusan diiringi lagu penutup berbahasa daerah yang dinyanyikan bersama seluruh jemaat, menambah kehangatan spiritual.
Dokumentasi visual dari kegiatan ini juga memperlihatkan bahwa liturgi dijalankan secara utuh dan sesuai dengan struktur ibadah GKI: mulai dari Votum dan Salam, Pelayanan Firman, Persembahan, hingga Pengutusan. Unsur budaya hanya menyentuh aspek ekspresi, bukan isi teologis, sehingga tetap memenuhi ketentuan Sinode GKI TP mengenai liturgi kontekstual.
“Ibadah seperti ini bukan hanya memperkaya persekutuan, tapi juga memperlihatkan bahwa gereja hadir dalam seluruh denyut kehidupan budaya masyarakat,” ujar salah satu anggota majelis.
Ibadah etnik ini juga menjadi bagian dari upaya GKI Ekklesia untuk menindaklanjuti semangat “liturgi yang hidup” sebagaimana digariskan dalam Tata Gereja GKI dan surat edaran BPMS GKI TP dalam momentum HUT Pekabaran Injil ke‑170.
Dengan pelibatan aktif warga jemaat lintas etnis, ibadah ini tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga perayaan identitas kultural sebagai satu kesatuan tubuh Kristus. GKI Ekklesia pun menunjukkan bahwa iman bisa tumbuh subur ketika akar budaya diberi ruang untuk bernapas dalam bingkai liturgi yang bertanggung jawab.