Kota Baru (Sentani Baru) Jayapura dan Ancaman Senyap di Kaki Cycloop

Dalam beberapa tahun terakhir, Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang selama ini menjadi tulang punggung ekosistem Kabupaten Jayapura menghadapi tekanan luar biasa. Kawasan yang seharusnya steril dari aktivitas manusia justru kini menjadi saksi dari ekspansi pemukiman, pembukaan lahan untuk perladangan, dan jalur akses ilegal yang makin membelah hutan tropis Papua tersebut. Masyarakat lokal yang dulunya hidup harmonis dengan alam pun kini turut terdorong merambah kawasan konservasi karena himpitan kebutuhan tempat tinggal, ekonomi, serta absennya solusi tata ruang yang manusiawi dan terencana.
Gejala ini bukan semata persoalan hukum atau pelanggaran kawasan lindung, melainkan hasil dari akumulasi masalah lama: ketidaksiapan Kabupaten Jayapura dalam menyediakan alternatif ruang pemukiman yang layak dan legal bagi warga. Urbanisasi yang terjadi di Sentani dan sekitarnya sangat cepat. Banyak warga yang datang bukan hanya karena perpindahan alami, tetapi juga akibat perpindahan birokrasi, tenaga pendidik, pelajar, dan tenaga medis dari wilayah lain. Ketika ruang di sekitar Danau Sentani semakin padat dan mahal, maka lereng-lereng Cycloop yang sebelumnya dianggap sakral dan terlindungi pun kini menjadi solusi instan: murah, luas, dan tanpa regulasi.
Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran yang besar dari kalangan pemerhati lingkungan, akademisi, bahkan otoritas konservasi. Dalam pengamatan lapangan yang dilakukan oleh mahasiswa biologi dari Universitas Cenderawasih, ditemukan bahwa lebih dari 40% jalur masuk ke kawasan penyangga Cycloop telah mengalami perubahan fungsi. Terjadi pembukaan jalan baru tanpa izin, permukiman yang dibangun semi permanen, dan bahkan aktivitas jual beli tanah yang berlangsung terang-terangan. Tidak sedikit lahan di kaki Cycloop yang kini ditawarkan oleh pihak-pihak swasta tanpa status kepemilikan yang sah.
Kondisi ini tentu menyimpan risiko ekologi yang sangat besar. Pegunungan Cycloop bukan hanya lanskap alam biasa, tetapi zona pengatur tata air utama bagi Jayapura dan Danau Sentani. Jika wilayah ini terus rusak, maka bencana seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, dan penurunan kualitas air akan menjadi keniscayaan. Bahkan, secara biologis, Cycloop adalah rumah dari ratusan spesies endemik Papua yang tak tergantikan. Kehilangan kawasan ini sama saja dengan memusnahkan laboratorium alam dan pusat pembelajaran hayati bagi generasi mendatang.
Melihat gejala tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mengambil langkah tegas dan berpikir jangka panjang. Gagasan membangun kota baru di luar tekanan kawasan konservasi seperti Cycloop adalah pilihan strategis dan berkelanjutan. Kabupaten Jayapura telah memiliki dasar hukum dan arah kebijakan ke sana. Dalam dokumen RTRW dan RDTR yang berlaku hingga tahun 2041, wilayah seperti Waibu, Demta, Nimboran, dan Yapsi telah diidentifikasi sebagai kawasan pengembangan kota baru. Namun hingga kini, implementasi di lapangan masih sangat terbatas. Belum ada agenda kerja lintas sektor, belum ada penetapan tapak kawasan secara resmi, dan belum terbentuk tim teknis yang mengawal perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan kawasan kota baru.
Membangun kota baru bukanlah sekadar proyek betonisasi, tetapi harus menjadi proyek peradaban. Ia harus berbasis pada perlindungan lingkungan, pengakuan hak masyarakat adat, dan tata ruang yang menjamin keadilan spasial. Dalam konteks Jayapura, ini berarti menciptakan kawasan kota yang inklusif bagi masyarakat lokal, yang menyediakan akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang memberi ruang ekonomi bagi warga kampung dan adat, serta tetap menjaga harmoni dengan lanskap Papua yang sakral.
Langkah pertama yang bisa diambil adalah menetapkan satu kawasan prioritas sebagai kota baru dan segera membentuk tim lintas OPD dan masyarakat adat untuk menyusun masterplan ekologis. Setelah itu, barulah infrastruktur dasar seperti jalan, air, listrik, dan drainase dibangun dengan prinsip tata kelola hijau. Pemerintah dapat melibatkan perguruan tinggi, gereja, dan komunitas lokal dalam merancang tata ruang kota yang sehat secara ekologis, sosial, dan budaya.
Jika tidak ada intervensi serius dalam waktu dekat, kita bukan hanya akan kehilangan kawasan konservasi Cycloop, tetapi juga akan menghadapi krisis ekologis, sosial, dan tata kota yang lebih dalam. Ketika kota tumbuh tanpa arah, maka hutanlah yang menjadi korban. Dan ketika hutan lenyap, maka manusia pun kehilangan tempat hidupnya yang paling dasar.
Kabupaten Jayapura memiliki kesempatan besar untuk menjadi model perencanaan kota berbasis konservasi. Tapi kesempatan itu hanya bisa diwujudkan jika ada keberanian politik, kepemimpinan yang visioner, dan solidaritas sosial untuk menjaga tanah ini tetap lestari. Kota baru bukan hanya solusi tata ruang, tapi juga pengakuan bahwa alam dan manusia harus tumbuh bersama, bukan saling menyingkirkan.
Referensi & Opini Pendukung
1. Dr. Yoseph Rumbekwan, M.Si – Akademisi Biologi Konservasi, Universitas Cenderawasih
“Cycloop adalah satu dari sedikit cagar alam di Indonesia yang berbatasan langsung dengan kota. Jika tidak segera dialihkan tekanannya ke wilayah pengembangan kota baru, maka kita akan menyaksikan kehancuran ekosistem dalam sepuluh tahun ke depan.”
2. Yonas Weya, S.Hut, M.AP – Pemerhati Kehutanan Kabupaten Jayapura
“Kami sudah sering turun lapangan, dan memang ancaman terbesar bagi Cycloop bukan lagi perladangan tradisional, tetapi klaim pemukiman dan akses jalan baru. Diperlukan kota alternatif agar beban kawasan lindung ini bisa ditekan.”
3. Pdt. Willem Rumbiak, Kepala Sekretariat Sinode GKI di Tanah Papua
“Tanah adalah rahim kehidupan. Bila kita izinkan gunung dan danau dirusak atas nama pembangunan, kita sedang merusak perjanjian iman dan budaya kita sendiri. Solusi jangka panjang adalah kota baru, bukan perambahan cagar alam.”
4. Jhony Banua Rouw, S.E. – DPR Papua
“Pembangunan kawasan kota baru adalah mandat moral. Kami akan dorong Pemkab Jayapura agar lebih serius mengatur ulang beban kota Sentani dan mengalihkan pengembangan ke zona-zona yang lebih rasional dan tidak sensitif secara ekologis.”
5. Yanto Eluay – Tokoh Adat Sentani –
“Masyarakat adat bukan penghalang pembangunan. Tapi kami minta dihormati dalam perencanaan kota baru. Jangan sampai kami hanya jadi penonton di atas tanah sendiri. Kawasan adat bisa ikut dikelola jika pemimpinnya mau duduk bicara baik-baik.”
#SayaCycloop #NotEncroacher
