Penempatan Jabatan Pelaksana dan Pengadministrasi Umum Pasca Non-Job ASN: Antara Kebutuhan Organisasi dan Politisasi Jabatan

Reformasi birokrasi di Indonesia, terutama sejak diterapkannya kebijakan penyederhanaan struktur eselonisasi, telah membawa dampak besar dalam pengelolaan jabatan ASN. Salah satu fenomena nyata yang muncul adalah penempatan sejumlah pejabat struktural (terutama Eselon IV dan III) ke dalam jabatan pelaksana atau pengadministrasi umum setelah mereka tidak lagi menduduki jabatan sebelumnya. Proses ini bukan hanya bersifat administratif, namun juga kerap kali sarat akan dinamika politik organisasi dan interpretasi subjektif pimpinan unit kerja.
Artikel ini mengurai aspek normatif, fungsional, dan politis dalam penempatan jabatan pasca non-job ASN, khususnya dalam konteks jabatan pelaksana dan pengadministrasi umum.
Secara regulatif, penempatan jabatan ASN setelah mengalami non-job diatur melalui berbagai regulasi:
- PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS – menyatakan bahwa PNS yang diberhentikan dari jabatan administrasi tetap memiliki hak atas penugasan baru.
- PermenPANRB No. 17 Tahun 2021 – menyederhanakan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional untuk efisiensi birokrasi.
- PermenPANRB No. 45 Tahun 2022 – mengklasifikasikan jabatan pelaksana ke dalam tiga kelompok: klerek, operator, dan teknisi.
- KepmenPANRB No. 11 Tahun 2024 – memperbaharui nomenklatur dan klasifikasi jabatan pelaksana.
Regulasi-regulasi tersebut memberikan kerangka hukum bahwa jabatan pelaksana maupun jabatan seperti pengadministrasi umum bukanlah “pembuangan”, melainkan bagian dari penyelarasan struktur ASN dengan kebutuhan organisasi.
Dalam praktiknya, banyak pejabat eselon yang tidak langsung dapat dikonversi ke jabatan fungsional karena terbatasnya kualifikasi, pelatihan, atau belum adanya formasi. Akibatnya, pilihan realistis dari instansi adalah:
- Menempatkan yang bersangkutan dalam jabatan pelaksana, atau
- Memberi tugas sebagai pengadministrasi umum, dengan lingkup kerja administratif dasar.
Penempatan ini sejatinya bukan bentuk “hukuman”, melainkan langkah administratif agar ASN tetap aktif, sambil menunggu kesempatan pengembangan karir lebih lanjut.
Namun, penempatan ini seringkali tidak sesederhana itu dalam konteks realitas organisasi.
Di balik penempatan jabatan tersebut, pimpinan unit kerja memiliki ruang interpretasi yang cukup besar, terutama karena alasan:
- Diskresi kepala unit atas kebutuhan SDM instansi.
- Dinamika internal organisasi, termasuk loyalitas dan relasi personal.
- Dorongan eksternal (politisasi) dalam pengisian jabatan tertentu.
⚠️ Contoh Skema Interpretasi
Situasi | Interpretasi Pimpinan Unit | Implikasi Penempatan |
---|---|---|
ASN non-job berasal dari kelompok yang tidak “sehaluan” | Ditempatkan sebagai pelaksana biasa tanpa ruang pengaruh | Terjadi pembatasan peran ASN meskipun kompetensi tinggi |
ASN dekat dengan penguasa lokal atau tokoh politik | Dicari posisi strategis walau belum bersertifikasi jabatan fungsional | Akses ke jabatan fungsional diprioritaskan meskipun tak melalui jalur reguler |
ASN dianggap potensial tapi belum memiliki jabatan | Ditempatkan sebagai pengadministrasi umum sambil disiapkan promosi | Bersifat sementara, menjadi “penjaga posisi” |
Interpretasi seperti ini, meskipun tidak selalu melanggar hukum, telah menciptakan diskrepansi antara kompetensi dan jabatan aktual, serta mengganggu objektivitas sistem merit.
Politisasi dalam penempatan jabatan ASN dapat terjadi dalam bentuk:
- Penempatan berbasis loyalitas politik, bukan kompetensi.
- Penggunaan jabatan pelaksana sebagai bentuk marginalisasi ASN tertentu.
- Pemanfaatan jabatan struktural yang kosong untuk mengakomodasi orang dekat.
Dampaknya sangat luas:
- Meruntuhkan kepercayaan ASN terhadap sistem merit.
- Menimbulkan kecemburuan dan konflik internal.
- Melemahkan semangat kerja ASN yang terkena non-job.
Agar penempatan jabatan pelaksana dan pengadministrasi umum tidak disalahartikan atau disalahgunakan, maka perlu:
- Transparansi dan akuntabilitas dalam proses mutasi dan rotasi ASN.
- Penerapan sistem merit secara konsisten, dengan pengawasan oleh KASN.
- Peningkatan kompetensi ASN agar memenuhi syarat jabatan fungsional.
- Pengendalian praktik politisasi jabatan oleh pimpinan instansi, melalui penguatan regulasi dan sanksi etik.
Penempatan jabatan pelaksana dan pengadministrasi umum dalam ASN, khususnya pasca non-job, merupakan keniscayaan birokrasi modern. Namun, ketika proses ini tidak didasari prinsip keadilan dan meritokrasi, melainkan oleh interpretasi subyektif pimpinan dan dinamika politis internal, maka yang terjadi adalah distorsi birokrasi.
Sudah saatnya ASN dan para pemangku kepentingan memastikan bahwa jabatan bukan sekadar posisi, melainkan hasil dari proses yang adil, terbuka, dan berbasis pada kualifikasi nyata demi kemajuan pelayanan publik yang profesional.
#HanyaMendengkur