Raja Ampat di Persimpangan Jalan: Menyelamatkan Surga atau Menggali Masa Depan Ekonomi?

Jayapura, 7/6/2025, – Sorotan tajam tengah mengarah ke Raja Ampat, Papua Barat Daya, salah satu kawasan konservasi laut paling menakjubkan di dunia. Dikenal sebagai “Surga Terakhir di Bumi”, wilayah ini kini menghadapi ujian besar: apakah akan tetap menjadi benteng terakhir biodiversitas laut, atau bertransformasi menjadi pusat ekonomi baru Indonesia lewat eksploitasi tambang nikel?
Selama sepekan terakhir, linimasa media sosial diramaikan oleh tagar #SaveRajaAmpat. Masyarakat, aktivis lingkungan, akademisi, hingga pemerintah saling bertukar pandangan soal masa depan kawasan ini. Di balik gemuruh suara penolakan, muncul juga narasi dukungan yang menilai hilirisasi nikel sebagai jalan penting menuju kemandirian ekonomi nasional.
Suara Penolakan: “Kami Tidak Bisa Makan Nikel”
Penolakan keras datang dari masyarakat adat Raja Ampat, kelompok lingkungan, dan sejumlah pejabat negara. Mereka menilai ekspansi tambang nikel akan menjadi ancaman nyata bagi ekosistem laut dan darat yang selama ini menjadi sumber hidup warga.
“Raja Ampat bukan hanya indah, tapi juga rumah bagi ribuan spesies laut, sebagian besar tidak ditemukan di tempat lain. Begitu rusak, kita tidak bisa mengembalikannya,” kata Karla Natigor, aktivis Greenpeace Indonesia saat aksi damai di Konferensi Nikel Internasional, Jakarta, awal Juni lalu.
Bersama empat pemuda asal Papua, Karla menyuarakan penolakan terhadap proyek tambang nikel yang disebut-sebut telah masuk tahap eksplorasi awal. Mereka menilai, pendekatan ekonomi semata mengabaikan warisan ekologis dan budaya masyarakat adat.
Senada, Auriga Nusantara mengingatkan potensi kerusakan akibat deforestasi, sedimentasi laut, hingga konflik sosial yang kerap menyertai industri ekstraktif. “Kita harus belajar dari Morowali dan Halmahera. Jangan biarkan Raja Ampat menjadi cerita gagal berikutnya,” ujar peneliti Auriga, Yosua Simangunsong.
Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Putri Wardana, ikut angkat suara. Dalam pernyataan resminya, ia menegaskan bahwa “pembangunan berkelanjutan harus memihak pada pelestarian alam, apalagi di kawasan yang menjadi ikon wisata global.”
Narasi Pendukung: “Jangan Anti Pembangunan”
Namun di sisi lain, tidak sedikit pihak yang menganggap tambang nikel di Raja Ampat sebagai peluang emas bagi negara. Dalam wawancara dengan detikcom, pejabat dari Kementerian Investasi/BKPM menyebut bahwa proyek ini “masih dalam tahap pengkajian” dan bertujuan mendukung agenda hilirisasi nasional.
“Indonesia adalah pemain utama nikel dunia. Dunia butuh nikel untuk baterai kendaraan listrik. Ini peluang strategis yang tidak boleh kita sia-siakan,” ujar Deputi Bidang Pengembangan Investasi, Rizal Purwanto.
Ia menekankan bahwa pemerintah tidak akan mengizinkan penambangan di zona konservasi, dan perusahaan yang mendapat izin harus menjalankan audit lingkungan secara ketat.
Beberapa pejabat lokal dan tokoh adat juga menyuarakan nada serupa. Mereka menyebut bahwa jika dilakukan dengan benar, tambang bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), membuka lapangan kerja, serta mempercepat pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, dan listrik.
“Saya bukan menolak lingkungan, tapi kami juga ingin sekolah bagus, rumah sakit layak, dan pekerjaan. Kalau tambang bisa bantu, kenapa tidak?” kata Dominggus Kalami, tokoh adat dari daerah Waigeo.
Akademisi: “Harus Ada Titik Keseimbangan”
Pengamat sumber daya alam dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Henri Subagyo, menilai pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Menurutnya, manfaat ekonomi dari tambang memang nyata, tapi bisa menjadi bumerang jika mengorbankan ekosistem unik seperti Raja Ampat.
“Kalau hanya bicara soal PDB dan ekspor, iya, tambang memang menguntungkan. Tapi kita harus lihat total cost — dampak jangka panjang terhadap pariwisata, perikanan, dan citra Indonesia di mata dunia,” jelasnya.
Ia menyarankan pendekatan tengah, seperti pemetaan zona merah dan hijau, audit sosial-lingkungan, serta pemberdayaan ekonomi alternatif bagi masyarakat lokal melalui pariwisata berkelanjutan dan pengelolaan hasil laut.
Di Mana Arah Kebijakan Pemerintah?
Sampai saat ini, belum ada keputusan resmi soal izin operasi tambang nikel di Raja Ampat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan sedang meninjau ulang status kawasan dan dampak potensialnya.
Namun publik berharap transparansi lebih besar. “Ini bukan sekadar soal ekonomi atau lingkungan. Ini soal masa depan Indonesia: mau dikenal sebagai penjaga surga dunia, atau penggali sumber daya yang melupakan akar,” pungkas Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative Indonesia.
Jayapura dan Cycloop: Potensi yang Mulai Diendus
Selain Raja Ampat, potensi tambang nikel juga mulai dilirik berada di wilayah Kabupaten Jayapura, khususnya di bagian utara seperti Dosay, Sentani Barat, dan daerah pesisir Tablasufa di Depapre. Penelitian Pusat Sumber Daya Geologi mencatat kadar nikel laterit di daerah ini berada di kisaran 1,13% hingga 1,33%, bahkan berpotensi meningkat hingga 2% pasca eksplorasi.
Kawasan ini berada dekat dengan Pegunungan Cycloop, yang selama ini dikenal sebagai jantung ekosistem dataran rendah Jayapura sekaligus sumber air bersih utama warga kota.
Meski belum ada aktivitas penambangan resmi dalam skala besar, beberapa laporan menyebut adanya indikasi eksplorasi dan bahkan tambang rakyat yang berjalan di pinggiran kawasan konservasi. Sejumlah akademisi dan LSM lokal menyoroti bahwa jika wilayah ini tidak dijaga ketat, maka Papua bisa menghadapi gelombang eksploitasi mineral yang tidak terkendali.
Menjaga Papua Tetap Papua
Hingga saat ini, belum ada keputusan resmi terkait eksploitasi nikel baik di Raja Ampat maupun Jayapura. Namun, geliat dan tekanan politik serta ekonomi terus meningkat. Papua yang selama ini dijuluki “tanah yang kaya namun dijaga oleh orang sederhana” kini kembali diuji: apakah bisa menjaga alamnya sambil membangun masa depan, atau tergelincir dalam jejak-jejak eksploitasi yang pernah terjadi di tempat lain.
Satu hal yang pasti, masa depan Papua bukan hanya soal bijih logam di dalam tanahnya, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini memilih untuk menghormati alam, adat, dan generasi yang akan datang.
#SaveRajaAmpat #SaveMasyarakatHukumAdat #SavePapua